System

Konsep Merdeka Belajar

Taufik Junaidie Taufik Junaidie 3 min read

Sampai saat ini, masih banyak yang belum memahami konsep merdeka belajar. Tidak sedikit juga yang masih miskonsepsi memahaminya.

Karena konsep ini, memang bisa dibilang baru digaungkan oleh Mas Men Nadim Makarim. Meskipun sebenarnya, sudah lama digaungkan oleh Komunitas Guru Belajar. 

Nah berikut ini ada tulisan menarik dari Pak Rachmat Hidayat mengenai merdeka belajar. Saya rasa sangat masuk sekali penjelasannya.

Hardiknas: Merdeka Belajar Sejak Dalam Pikiran

Saya sering meliat bagaimana orang menertawakan konsep ini. Ada yang mengatakan merdeka artinya boleh belajar boleh nggak, ada yang bilang asal suka-suka saja. Ada yang menyamakan dengan kebebasan. Sebenarnya banyak cara kalau kita mau memahami konsep Kemendikbud ini. Sayangnya kita ogah-ogahan dan meremehkan dengan dalih, "paling cuma ganti nama".

Agak susah memang kalau memandang merdeka belajar dari kacamata guru old school yang sehari-hari sudah mirip penjajah. Bagaimana tidak, pendidikan kita selama ini dari hulu sampa hilir dirancang untuk mengatur siswa. Pemerintah mengatur guru, guru mengatur siswa. Tak layak jika bagi banyak siswa sekarang sekolah sudah serasa penjara. Satu-dua jam pelajaran kosong rasanya sudah sangat menyenangkan, bebas.

Apasih yang menyebalkan saat kita dijajah? Bukan, bukan karena kita sulit mencari makan. Bukan juga karena kita sulit mencari penghidupan. Yang paling menyebalkan dari dijajah adalah tidak adanya kesempatan kita untuk memilih. Tanah yang kita tinggali, hasil bumi dari jerih payah kita semua diatur oleh penjajah. Para penjajah itu tak sedikit pun mau memihak kita, memahami apa yang kita rasakan, atau mencoba mengetahui kemauan kita. Penjajah menganggap kita sebagai mesin biologis untuk mencapai tujuan mereka.

Sekarang mari kita lihat sekolah kita. Dari 48 jam pelajaran yang ada di sekolah, 40 jamnya sudah terisi kurikulum nasional. Mau sisw yang tinggal di gunung, di pesisir laut, di kota besar, semua harus makan porsi yang sama. Sisa 8 jam itu 2 jam harus diambil daerah untuk pelajaran bahasa daerah. Sisa 6 jam lagi biasanya diambil Kabupaten atau kota untuk muatan loka kita. Jika ada sisa mungkin tinggal 2 jam. Sekolah tak punya kebebasan untuk membuat sendiri kurikulum sesuai unggulan mereka.

Oke mereka berdalih itu semua untuk kebaikan siswa. Tapi apakah mereka sudah melibatkan siswa? Sudahkah mereka bertanya pada anak-anak? Sudahkah mereka tahu apa kemauan siswa? Jangan salah, Belanda juga menggunakan dalih demikian ketika menjajah. Mereka menganggap bangsa kita cukup terbelakang untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri.

Di sekolah, tempat dimana seharusnya siswa belajar dengan bahagia juga semakin tidak merdeka. Guru berdiri di depan kelas dan memaksa semua siswa memperhatikannya. Siapapun siswanya, apapun backgroundnya, semua harus menguasai apa yang guru sampaikan. Guru IPS menuntut semua siswa jago IPS. Begitu pula guru matematika sampai olahraga. Barang siapa tidak mengikuti peraturan ancamannya adalah nilai jelek saat ujian. Apapun belajarnya, ujian (tulis) adalah cara menilainya.

Guru menentukan proses dari A sampai Z dalam suatu proses pembelajaran. Seolah diktator yang merasa bahwa keputusannya adalah yang paling baik untuk semua. Sehingga apapun bentuk pelanggaran terhadap keputusan itu layak di hukum. Lagi-lagi dengan dalih untuk kebaikan siswa.

Pertanyaannya benarkah? Benarkah penjajahan dalam proses belajar adalah yang

terbaik

untuk siswa? Jika benar mengapa pendidikan kita tak juga menjadi lebih baik?

Merdeka belajar dimulai dari memandang siswa sebagai manusia yang bebas untuk menentukan tujuannya. Siswa SD kelas 1 pun bisa diajak berkomunikasi untuk diketahui apa keinginan mereka. Siswa bukan tanah liat yang bebas kita jadikan kendi atau gentong sesuka hati kita. Tidak mudah punya pandangan seperti ini jika kita sendiri tidak adil sejak dalam pikiran. Jika kita adil, maka kita tidak lagi beranggapan guru berposisi lebih tinggi dari siswa yang berhak menentukan segala keputusan.

Apakah merdeka belajar berarti siswa bebas mau belajar atau nggak? Tentu ini miskonsepsi dari seorang yang malas membaca. Merdeka belajar adalah tentang bagaimana siswa mendapat kebebasan apa dan bagaimana mereka belajar. Dan sebagaimana kemerdekaan yang lain kemerdekaan belajar juga masih punya aturan. Merdeka belajar adalah tentang memberikan pilihan kepada siswa. Mendengarkan apa kemauan mereka.

Mereka belajar dimulai dari memberj kesempatan siswa untuk mengatur sendiri bagaimana mereka akan belajar. Mulai dari tujuannya, cara dan teknis pembelajaran sampai pada teta cara menilanya. Tidak sebagaimana biasanya dimana itu semua ditentukan secara individu oleh seorang guru. Dengan merdeka belajar siswa diberikan hak untuk memilih dan berpendapat selayaknya manusia hidup.

Apa nggak makin kacau kalau siswa menentukan tujuan dan cara belajarnya sendiri?

Nah, pandangan semacam ini menandakan bahwa masih ada pemikiran penjajah dalam diri seorang guru. Guru merdeka belajar percaya bahwa siswa pada dasarnya adalah sosok pembelajar. Guru dapat membuat peraturan bersama siswa dan menghasilkan kesepakatan yang wajib ditaati semua.

Lalu bagaimana kalau siswa berbeda beda keinginan dalam belajarnya?

Sekali lagi hilangkan mental penjajah terlebih dahulu. Penjajah selalu menyeragamkan banyak hal demi memudahkan kepentingan mereka. Tapi guru bukan penjajah, kan? Sebab itu dia harus menghargai kebebasan individu. Pernahkah melihat orkestra? Apa jadinya jika dalam orkestra semua musik hanya dihasilkan dari piano? Garingkan. Orkestra jadi megah sebab banyak alat musik berbeda yang menghasilkan suara yang berbeda taoi tetap harmonis. Apakah orkestra sepenuhnya bebas? Tentu tidak. Meskipun berbeda Orkestra memainkan not yang sama. Begitulah harusnya belajar di kelas.

Belajar seharusnya mengeluarkan setiap potensi masing-masing individu. Bukan menyamakan agar semua individu memiliki kompetensi yang sama. Belajar adalah bagaimana menghasilkan Ronaldo, Michael Jackson, Einstein, Bill Gates baru. Bukan memaksa Chris John menjadi Krisdayanti. Apakah mungkin segala perbedaan itu dapat dirangkul dalam satu proses pembelajaran. Mungkin sekali jika kita mau berusaha. Berabad-abad para pahlawan berjuang mengusir penjajah. Apalah arti usaha kita yang secuil untuk menghasilkan kemerdekaan di kelas kita dibandingkan darah mereka?

Sudah merdeka belajar kah guru sejak dalam pikiran?

Taufik Junaidie
Taufik Junaidie Kepala Sekolah, Finalis 5 besar SRB 2022, Certified Teacher, Google Certified Educator Lev. 2, Juara 1 Vidio Animasi se Kalsel, and Blogger
Komentar