Konsep Merdeka Belajar
Sampai saat ini, masih banyak yang belum memahami konsep merdeka belajar. Tidak sedikit juga yang masih miskonsepsi memahaminya.
Karena konsep ini, memang bisa dibilang baru digaungkan oleh Mas Men Nadim Makarim. Meskipun sebenarnya, sudah lama digaungkan oleh Komunitas Guru Belajar.
Nah berikut ini ada tulisan menarik dari Pak Rachmat Hidayat mengenai merdeka belajar. Saya rasa sangat masuk sekali penjelasannya.
Hardiknas: Merdeka Belajar Sejak Dalam Pikiran
Saya sering meliat bagaimana orang menertawakan konsep ini.
Ada yang mengatakan merdeka artinya boleh belajar boleh nggak, ada yang bilang
asal suka-suka saja. Ada yang menyamakan dengan kebebasan. Sebenarnya banyak
cara kalau kita mau memahami konsep Kemendikbud ini. Sayangnya kita ogah-ogahan
dan meremehkan dengan dalih, "paling cuma ganti nama".
Agak susah memang kalau memandang merdeka belajar dari
kacamata guru old school yang sehari-hari sudah mirip penjajah. Bagaimana
tidak, pendidikan kita selama ini dari hulu sampa hilir dirancang untuk mengatur
siswa. Pemerintah mengatur guru, guru mengatur siswa. Tak layak jika bagi
banyak siswa sekarang sekolah sudah serasa penjara. Satu-dua jam pelajaran
kosong rasanya sudah sangat menyenangkan, bebas.
Apasih yang menyebalkan saat kita dijajah? Bukan, bukan
karena kita sulit mencari makan. Bukan juga karena kita sulit mencari
penghidupan. Yang paling menyebalkan dari dijajah adalah tidak adanya
kesempatan kita untuk memilih. Tanah yang kita tinggali, hasil bumi dari jerih
payah kita semua diatur oleh penjajah. Para penjajah itu tak sedikit pun mau
memihak kita, memahami apa yang kita rasakan, atau mencoba mengetahui kemauan
kita. Penjajah menganggap kita sebagai mesin biologis untuk mencapai tujuan
mereka.
Sekarang mari kita lihat sekolah kita. Dari 48 jam pelajaran
yang ada di sekolah, 40 jamnya sudah terisi kurikulum nasional. Mau sisw yang
tinggal di gunung, di pesisir laut, di kota besar, semua harus makan porsi yang
sama. Sisa 8 jam itu 2 jam harus diambil daerah untuk pelajaran bahasa daerah.
Sisa 6 jam lagi biasanya diambil Kabupaten atau kota untuk muatan loka kita.
Jika ada sisa mungkin tinggal 2 jam. Sekolah tak punya kebebasan untuk membuat
sendiri kurikulum sesuai unggulan mereka.
Oke mereka berdalih itu semua untuk kebaikan siswa. Tapi
apakah mereka sudah melibatkan siswa? Sudahkah mereka bertanya pada anak-anak?
Sudahkah mereka tahu apa kemauan siswa? Jangan salah, Belanda juga menggunakan
dalih demikian ketika menjajah. Mereka menganggap bangsa kita cukup terbelakang
untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri.
Di sekolah, tempat dimana seharusnya siswa belajar dengan
bahagia juga semakin tidak merdeka. Guru berdiri di depan kelas dan memaksa
semua siswa memperhatikannya. Siapapun siswanya, apapun backgroundnya, semua
harus menguasai apa yang guru sampaikan. Guru IPS menuntut semua siswa jago
IPS. Begitu pula guru matematika sampai olahraga. Barang siapa tidak mengikuti
peraturan ancamannya adalah nilai jelek saat ujian. Apapun belajarnya, ujian
(tulis) adalah cara menilainya.
Guru menentukan proses dari A sampai Z dalam suatu proses
pembelajaran. Seolah diktator yang merasa bahwa keputusannya adalah yang paling
baik untuk semua. Sehingga apapun bentuk pelanggaran terhadap keputusan itu
layak di hukum. Lagi-lagi dengan dalih untuk kebaikan siswa.
Pertanyaannya benarkah? Benarkah penjajahan dalam proses
belajar adalah yang
terbaik
untuk siswa? Jika benar mengapa pendidikan kita tak juga
menjadi lebih baik?
Merdeka belajar dimulai dari memandang siswa sebagai manusia
yang bebas untuk menentukan tujuannya. Siswa SD kelas 1 pun bisa diajak
berkomunikasi untuk diketahui apa keinginan mereka. Siswa bukan tanah liat yang
bebas kita jadikan kendi atau gentong sesuka hati kita. Tidak mudah punya
pandangan seperti ini jika kita sendiri tidak adil sejak dalam pikiran. Jika
kita adil, maka kita tidak lagi beranggapan guru berposisi lebih tinggi dari
siswa yang berhak menentukan segala keputusan.
Apakah merdeka belajar berarti siswa bebas mau belajar atau
nggak? Tentu ini miskonsepsi dari seorang yang malas membaca. Merdeka belajar
adalah tentang bagaimana siswa mendapat kebebasan apa dan bagaimana mereka
belajar. Dan sebagaimana kemerdekaan yang lain kemerdekaan belajar juga masih
punya aturan. Merdeka belajar adalah tentang memberikan pilihan kepada siswa. Mendengarkan
apa kemauan mereka.
Mereka belajar dimulai dari memberj kesempatan siswa untuk
mengatur sendiri bagaimana mereka akan belajar. Mulai dari tujuannya, cara dan
teknis pembelajaran sampai pada teta cara menilanya. Tidak sebagaimana biasanya
dimana itu semua ditentukan secara individu oleh seorang guru. Dengan merdeka
belajar siswa diberikan hak untuk memilih dan berpendapat selayaknya manusia
hidup.
Apa nggak makin kacau kalau siswa menentukan tujuan dan cara
belajarnya sendiri?
Nah, pandangan semacam ini menandakan bahwa masih ada
pemikiran penjajah dalam diri seorang guru. Guru merdeka belajar percaya bahwa
siswa pada dasarnya adalah sosok pembelajar. Guru dapat membuat peraturan
bersama siswa dan menghasilkan kesepakatan yang wajib ditaati semua.
Lalu bagaimana kalau siswa berbeda beda keinginan dalam
belajarnya?
Sekali lagi hilangkan mental penjajah terlebih dahulu.
Penjajah selalu menyeragamkan banyak hal demi memudahkan kepentingan mereka.
Tapi guru bukan penjajah, kan? Sebab itu dia harus menghargai kebebasan
individu. Pernahkah melihat orkestra? Apa jadinya jika dalam orkestra semua
musik hanya dihasilkan dari piano? Garingkan. Orkestra jadi megah sebab banyak
alat musik berbeda yang menghasilkan suara yang berbeda taoi tetap harmonis.
Apakah orkestra sepenuhnya bebas? Tentu tidak. Meskipun berbeda Orkestra
memainkan not yang sama. Begitulah harusnya belajar di kelas.
Belajar seharusnya mengeluarkan setiap potensi masing-masing
individu. Bukan menyamakan agar semua individu memiliki kompetensi yang sama.
Belajar adalah bagaimana menghasilkan Ronaldo, Michael Jackson, Einstein, Bill
Gates baru. Bukan memaksa Chris John menjadi Krisdayanti. Apakah mungkin segala
perbedaan itu dapat dirangkul dalam satu proses pembelajaran. Mungkin sekali
jika kita mau berusaha. Berabad-abad para pahlawan berjuang mengusir penjajah.
Apalah arti usaha kita yang secuil untuk menghasilkan kemerdekaan di kelas kita
dibandingkan darah mereka?
Sudah merdeka belajar kah guru sejak dalam pikiran?