2 Cara Sederhana Membuat Peserta Didik Benar-Benar Belajar

Pembelajaran bukan tentang bagaimana guru mengajar tapi bagaimana siswa itu dapat belajar. 

Mungkin Anda juga pernah membaca kalimat tersebut.

Kalimat yang saya temukan beberapa hari yang lalu ini, sedikit menyentil pikiran saya. Kalimat ini seperti mengingatkan, agar memastikan anak didik kita benar-benar belajar.

Jika dipikir-pikir ada benarnya..

Karena tidak selalu anak didik benar-benar belajar setiap harinya. Meski secara aktifitas mereka pergi ke sekolah, mengikuti pelajaran di kelas, menulis, membaca.

Akan tetapi sebenarnya, sebagian dari mereka tidak benar-benar memasuki proses belajar yang sebenarnya.

Apa sebenarnya yang dimaksud belajar?

Kita samakan persepsi dulu pengertian belajar.

Menurut Winkel, 

belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dalam lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan pemahaman.

Hal ini senada dengan Ernest R. Hilgard dalam (Sumardi Suryabrata, 1984:252) belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya.

Dari dua pengertian di atas kita garis bawahi pada perubahan.

Jadi jika peserta didik datang ke sekolah, kemudian pulang tanpa membawa perubahan artinya dia belum belajar. Betul?

Anak yang ketika diajari cara menghitung volume bangun ruang namun belum bisa mengerjakan sendiri, berarti belum belajar.

Anak yang ketika diajari menulis karangan, namun tidak bisa selesai setengah halaman pun, berarti belum belajar.

Anak yang suka terlambat, sudah diingatkan berkali-kali masih saja selalu terlambat berarti masih bisa disebut belum belajar. Betul?

Jadi belajar sebenarnya fokus pada keberhasilan perubahan yang terjadi pada anak didik.

Bukan pada aktifitas mereka pergi ke sekolah, mengikuti pelajaran di kelas, menulis, membaca.

Sepakat ya..?

Jadi bagaimana jika kita ingin mereka benar-benar belajar?

Berdasarkan pengertian dan permasalahan di atas, berikut hal sederhana yang bisa saya tawarkan.

1. Start from the easy

Pernah suatu waktu saya begitu bersemangat mengajar konsep matematika. Dengan penuh yakin cara yang saya ajarkan sangatlah mudah?

Tapi malah di luar ekspektasi saya.

Mereka semua mengernyitkan dahi...

Apakah mereka sudah bisa disebut belajar?

Saya rasa kita semua sepakat, anak-anak dalam kasus di atas belum masuk tahap belajar ya..

Kemudian saya ulang jelaskan lagi dengan angka yang lebih kecil dan lebih sederhana. Ternyata mereka lebih mudah memahami.

Bahkan soal-soal latihan hampir persis dengan contoh. Dan angka-angkanya pun tidak terlalu besar agar lebih mudah menghitung.

Tujuannya lebih kepada penerimaan konsep.

Fakta lainnya banyak anak yang pulang sekolah, lupa apa yang mereka dapat dari sekolah.

Dan lagi, pelajaran yang mereka pelajari di sekolah, tidak bisa mereka terapkan di rumah saat ngerjakan PR.

Berarti tidak ada perubahan yang mereka didapat bukan? Seolah-olah mereka pulang tidak membawa apapun.

Pernah ngerasa gitu juga saat sekolah?

Jadi kesimpulannya, penting sekali memberikan materi yang paling sederhana, namun konsep berhasil mereka pahami.

Jika sudah berhasil baru ditingkatkan ke tingkat materi yang lebih dalam.

2. Meaningfull Learning

Ada berbagai macam penjelasan tentang pembelajaran bermanakna dari berbagai sumber. Namun saya lebih suka penjelasan yang begini.

Pembelajaran bermakna (meaningfull learning) merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.

Sederhananya bagi saya, kaitkan dengan kehidupan sehari-hari saja. Karena dengan begitu lebih mudah mereka pahami.

Contohnya materi pelajaran Matematika tentang Kelipatan Persekutuan terKecil (KPK).

Saya lebih suka memberi contoh soal yang berkaitan kehidupan masyarakat sekitar yang sering mereka lihat.

Jika melihat pekerjaan mayoritas di daerah tempat saya mengajar, mayoritasnya adalah nelayan. Maka saya suka memberi soal yang berhubungan dengan nelayan.

Seperti soal berikut:

Kapal Penges A berangkat ke laut setiap 3 hari sekali, sedangkan kapal Penges B berangkat setiap 4 hari sekali. Hari keberapa kedua kapal tersebut berangkat bersama-sama lagi?

Itu salah satunya..

Atau ngajak mereka terjun ke masyarakat langsung.

Seperti pelajaran Bahasan Indonesia materi Wawancara. Pernah saya ajak wawancara langsung dengan seseorang narasumber (masyarakat).

Saya merasa dengan cara begitu peserta didik akan betul-betul belajar.

Apakah dengan kedua cara di atas bisa langsung membuat mereka benar-benar belajar?

1. 99% membantu

Jika berkaca dengan diri saya sendiri sewaktu sekolah, 2 hal di atas sangat membuat diri saya belajar.

Mengapa?

Karena dulu sering nerima soal yang menurut saya sulit. Tidak ada contoh di buku. Bahkan soal yang tidak dicontohkan oleh guru.

Akhirnya saat ngerjakan soal atau PR sangat kesulitan.

Jadi apakah saya juga bisa disebut belajar?

Sampai pulang ke rumah tidak bisa ngerjakan sama sekali soal yang diberikan oleh guru di sekolah.

2. Belum tentu

Yang sedikit sulit adalah belajar tentang sikap dan perilaku. Menurut saya memberikan pelajaran tersebut yang paling sulit dibanding dengan konsep pelajaran.

Misalnya, perilaku/sikap yang suka terlambat, berkelahi, mengganggu teman. Karena latar belakang sosial mereka juga sangat mempengaruhi.

Sehingga terkadang perlu proses panjang. Sampai anak benar-benar belajar akan kesalahan dari sikap/perilaku mereka.

Penutup

Demikian tulisan ini sederhana ini, semoga bermanfaat. Jika ada cara selain yang saya sebutkan di atas, saya sangat senang jika Bapak/Ibu menambahkan di dalam kolom komentar.

Saya percaya Bapak/Ibu pembaca tentu memiliki pengalaman yang lebih besar dari saya. 

5 komentar
Batal
Comment Author Avatar
21 Maret 2019 pukul 10.42
Rewrite comments from wordpress:

Elva says

23 Januari 2018 at 5:11 pm

Alhamdulilah,n trimakasih dapat ilmu yang sangat bermanfaat buat sy..semoga makin banyak ilmu-ilmu yang bisa dishare…
Comment Author Avatar
21 Maret 2019 pukul 10.42
Rewrite comments from wordpress:

Taufik Junaidie says

23 Januari 2018 at 4:30 pm

Sama-sama ibu, semoga bermanfaat…
Comment Author Avatar
21 Maret 2019 pukul 10.41
Rewrite comments from wordpress:

Nukman Asaari says

14 Desember 2017 at 10:12 am

Keterkaitan proses belajar yg tdk di dorong oleh orang tua gimana tuh …. contohnya siswa yg aktif di sekolah tiba2 menjadi tdk bersemangat krn faktor dari rumah …gimanah tuh
Comment Author Avatar
21 Maret 2019 pukul 10.41
Rewrite comments from wordpress:

Candra sitepu says

8 Desember 2017 at 5:14 pm

Tolong lah, mungkin ada rujukan pembelajaran sikap. Prilaku yang tidak bisa ikut dalam proses belajar. Tidak disiplin, suka buang sampah di kelas.
Thanks
Comment Author Avatar
21 Maret 2019 pukul 10.41
Rewrite comments from wordpress:

Taufik Junaidie says

9 Desember 2017 at 8:59 am

OK Ibu… Sebenarnya saya juga mencari rujukan yang seperti ibu maksud…

Jika saya dapat, InsyaAllah saya infokan di sini…