System

Dialog dengan Orang Tua Murid yang Meng-GE ER-kan di Warung Kopi

Taufik Junaidie Taufik Junaidie 5 min read

Tarik kursi dan duduk. Santai saja. Saya ingin bercerita sebentar.

Jadi, pagi menjelang siang tadi, saya beli segelas kopi di warung langganan saya.  Letaknya cukup dekat, hanya 1 langkah dari halaman sekolah kami.

Seperti biasa saya suka menyapa, sedikit tanya-tanya masalah warung atau apalah, buat nyari bahan cerita dan membuka komunikasi dengan ibu penjaga warung.

Ringkasnya, dari ngomong-ngomong di warung, ada hal menarik bagi saya pribadi, yang membuat saya ngerasa seperti juara Olimpiade Guru Tingkat Nasional. Wuhhhh.. jadi ge'er (read: gede rasa), hehe.. Maaf agak lebay.

Dan tentunya, pesan dari postingan ini, saya yakin bisa menjadikan modal Anda menjadi guru yang terdepan di sekolah Anda.

Dialog dengan Ibu Warung

Oh ya, saya belum ceritakan..

Kebetulan anak penjaga warung tersebut salah satu murid saya di kelas lima. Beliau nanya, gimana belajar anaknya?

Saya jawab, "anak ibu bagus saja di kelas".

"Aduhhh Pak, anak saya itu malas kalau belajar di rumah", timpal si Ibu.

"Yah begitulah anak-anak Bu, dan jika nilainya rendah sekalipun wajar saja. Yang pasti anak ibu baik, bergaul pun baik", jawab saya.

Ringkasnya, beliau pengen saya lagi yang ngajar anaknya di kelas 6 tahun depan. Namun saya tidak bisa mengiyakan, maklum pengalaman yang telah lalu, saya sangat keberatan dan keteteran.

Bukan berat ngajar kelas enamnya, namun kesibukan tugas tambahan sekolah yang saya emban. Seperti Dapodik, Absen Online DHGTK, dan pekerjaan lainnya berhubungan sekolah. Ibarat kata, urusan administrasi di sekolah, saya seperti tangan kanannya kepsek (mungkin sudah seperti kepsek ^_^).  Belum lagi turun sore ngurusin ekstrakurikuler (futsal, menari).

Guru Terbaik

Saya menghibur hati si Ibu dengan mengatakan bahwa guru-guru yang lain banyak aja yang ngajar di kelas enam.

Tahu apa balasan si ibu? Jawabannya bikin sedikit ge'er.

"Gak Pak, saya maunya Bapak aja yang ngajar. Kalau guru ****** anak-anak gak paham", kata si Ibu.

"Ya Pak, nih anak-anak kalau istirahat ngeluh di warung sini masalah guru kelas***", tambah ibu pemilik warung, ikut menimpali pembicaraan kami.

"Orang-orang di sini juga banyak yang bilang, guru yang paling bagus Bapak udah", kata si Ibu penjaga warung. (wah ini udah orang yang kesekian kalinya bilang gini, bukan promosi ya.. hehe..)

Meski begitu, saya tetap membela dan menjaga nama baik guru-guru di sekolah kami. Bukankah menjaga nama baik teman maka akan menjaga nama baik kita sendiri.

"Semua guru itu pada dasarnya bagus, memang berbagai macam karakter dan cara mengajar", tutur saya.

Memahami murid

Baik, saya tidak ingin ngebahas persepsi yang diutarakan oleh ibu penjaga warung yang juga sekaligus orang tua salah satu murid saya. Namun ada pemikiran yang muncul di kepala saya, sehingga ngerasa harus nulis ini.

Pernyataan ibu penjaga warung ini membuat saya kembali teringat kata-kata Pak Bukik, bahwa anak itu perlu dipahami.

Ya benar.. dipahami..

Sebenarnya saya tidak berhak menyandang dan disebut guru terbaik, seperti yang dikatakan ibu penjaga warung (meski hanya versi Ibu penjaga warung, hehe...) Karena istilah guru terbaik itu sudah sangat perfect. Sedangkan saya sangat merasa banyak kekurangan.

Meski begitu, jika memang saya dianggap guru yang bagus, mestinya Pak Bukik dan kawan-kawan di Komunitas Guru Belajar lah yang menjadi guru terbaik. Karena saya banyak belajar dari komunitas tersebut.

Prinsip yang selama ini yang saya pakai adalah belajar tidak menuntut anak harus bisa. Namun sebisa saya membuat mereka bisa paham. Menjelaskan dan mencari permasalahan mereka jika mereka tidak bisa memahami materi.

Hari ini saya semakin yakin, yang dibutuhkan anak itu didengar dan dipahami. Bukan menjejali mereka dengan materi pelajaran. Kemudian diberi tugas dan anak-anak dipandang begitu mudahnya memahami. Sedangkan anak-anak takut jika protes, apalagi gurunya galak.

Mereka butuh belajar

Selain dipahami, anak didik itu butuh belajar. Belajar yang bukan dalam artian hanya aktivitas turun ke sekolah. Namun belajar yang sebenarnya.

Masih ingat tulisan saya sebelumnya?  Bahwa belajar itu jika mengalami perubahan dari individu anak. Meskipun si Anak hari itu hanya bisa menghapal perkalian 2 x 4, sedangkan temannya sudah bisa menghitung volume balok. Bagi saya anak tersebut sudah mengalami proses belajar.

Anak tidak bisa dipaksakan, mereka unik, mereka berbeda. Benar pendapat sekolah SALAM (Sekolah Alam) di Jogja, bahwa anak-anak tidak bisa diseragamkan. Karena bawaannya beda-beda.

Anak-anak itu unik

Mungkin ini letak benang merahnya. Kebanyakan guru-guru  terutama kelas tinggi termasuk saya juga sering khilaf. Memandang anak itu sudah bisa, kita beri soal, materi, ulangan mereka mesti bisa jawab. Karena sudah diberi materinya.

Jika begitu, sama saja guru tersebut seperti tukang, kata Pak Rizqy, hehe...

Lanjut kata Pak Rizki, mestinya guru itu seperti dokter, ketahui masalahnya apa, itu yang diperbaiki.

Namun ingat, yang didiagnosa adalah cara mengajar kita, bukan mendiagnosa pribadi anak dengan memandang kekurangannya adalah penyakit.

Jika nganggapnya seperti itu, maka saat ketemu penyakit yang gak bisa diobati, akan selalu berusaha mencari obatnya. Alhasil anak dipaksa bagaimana pun menjadi sembuh. Karena terbawa prinsip bahwa setiap penyakit ada obatnya.

Ini yang salah..

Dalam belajar, keunikan anak seperti tidak bisa membaca meski sudah kelas 6, sulit memahami matematika, nilai olahraga yang delalu rendah.. Semua itu bukanlah kekurangan. Sehingga jangan sampai dianggap penyakit.

Jika dipaksakan sama kejadiannya anak yang nilai matematika 9, olahraga 6. Dipaksakan olahraga menjadi 7, akhirnya bisa-bisa matematika menjadi 9.

Lebih baik memandang anak itu seperti mobil Porsche dengan Ferrari. Sama-sama mobil berkelas namun memiliki spesifikasi dan kelebihan yang berbeda. Atau seperti Messi dan Ronaldo, Motor Honda Marquez dan Yamaha Rossi.

Keduanya gak bisa disamakan.. Mereka beda. Memiliki skill dan keahlian berbeda.

Coba pikir nih, anak yang nilai matematikanya 5, tetapi dia ahli manjat kelapa. Sedangkan anak yang nilai matematikanya 9, saya bisa jamin 0,1 % tidak ada yang bisa manjat kelapa. Saya sudah membuktikan, terbukti ada 4 sekolah yang sudah saya ajar sejak 2008. Dan saya juga pernah sekolah selama 16 tahun mulai dari TK s/d Kuliah. Belum pernah menemui anak yang pintar matematika pintar juga manjat kelapa.

Permasalahan sekolah-sekolah

Bagi beberapa orang berpendapat permasalahan seperti yang saya utarakan adalah permasalahan individu.

Tidak-tidak.. Menurut saya itu adalah permasalahan sekolahnya. Sekolah itu adalah perwujudan guru-gurunya, meski tidak semuanya guru berlaku sama.

Ingatlah istilah karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Nah itu dia. Kesalahan itu dipandang menyeluruh, bukan gurunya.

Oh ya, saat ini para orang tua juga semakin pintar dalam memilih sekolah. Agar mereka memilih sekolah yang mereka harapkan kita mesti tau juga tantangan zaman now, dan apa kebutuhan mereka.

Salah satu caranya dengan membeli bukunya Pak Bukik Setiawan "Panduan Memilih Sekolah".

Saya tidak menyuruh anda membeli kok jika merasa perlu. Namun saya tau Anda perlu, buktinya mengklik dan membeli melalui tautan tersebut.

Penutup

Sampai pada kesimpulan hari ini, jika ingin dianggap guru yang terbaik cukup pahami anak. Anak perlu dipahami, didengar, dimengerti.

Demikian tulisan saya sambil nyeruput kopi, semoga menjadi ispirasi. Bukan ria di hati. Pendekatan, komunikasi dan memahami murid ternyata sangat penting. Sehingga saya betul-betul mendorong saya ingin menuliskan di blog ini.

Taufik Junaidie
Taufik Junaidie Kepala Sekolah, Finalis 5 besar SRB 2022, Certified Teacher, Google Certified Educator Lev. 2, Juara 1 Vidio Animasi se Kalsel, and Blogger
Komentar