System

Mengapa Penilaian Sikap Nomor Satu, Sedangkan Penilaian Mata Pelajaran Nomor Sepuluh?

Taufik Junaidie Taufik Junaidie 3 min read

Bila saya harus mengungkapkan penilaian apa yang paling utamakan dari anak-anak di kelas saya, maka jawabannya adalah penilaian sikap. Sedangkan nilai mata pelajaran nomor sepuluh.

Hal tersebut yang saya sampaikan kepada anak-anak pagi tadi. Saat itu mereka begitu antusiasnya meminta hasil nilai UTS (Ulangan Tengah Semester) minggu lalu.

Anak-anak ini begitu penasarannya akan nilai hasil mereka. Ada yang terlihat takut, ada yang merasa begitu yakin dan begitu terlihat sekali ingin membandingkan nilai dirinya dengan teman-temannya.

Sepertinya ini salah...

Hal ini sebenarnya menjadi kekhawatiran saya sudah sejak lama.

Karena anak yang mendapat nilai tinggi tentu akan euforia. Sedangkan yang mendapat nilai jelek, terutama anak yang kemampuan nilai akademisnya rendah, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka.

Oleh karena itu, sebelum saya bagi UTS tersebut, kembali saya ingatkan bahwa berapa pun nilai mereka, hal itu bukanlah utama.

Sampai-sampai saya lemparkan tumpukan UTS mereka ke lantai (bukan marah ya.. tapi hanya demonstrasi). Kemudian saya katakan, "Penilaian Bapak nomor satu adalah sikap, dan nilai mata pelajaran adalah yang ke sepuluh", (sambil menunjuk tumpukan lembar UTS di lantai).

Mereka semua antusias mendengarkan, bingung, heran, terlihat di wajah mereka. Karena baru pertama mendengar saya mengucapkan kalimat tersebut. Meskipun sebenarnya saya sangat sering mengulang-ngulang kalimat "Sikap itu lebih penting dari pada nilai mata pelajaran".

Di antara mereka ada yang bertanya bingung, "kenapa Pak nilai sikap no satu, sedangkan nilai mata pelajaran nomor sepuluh?".

"Gini logikanyaa.. "

"Kalian tentu pernah lihat berita di televisi tentang bom yang diledakkan oleh teroris. Kemampuan teroris itu nilai mata pelajarannya bisa disebut mendapat sepuluh lho, karena memiliki kecerdasaran merakit bom..!? namun sayang nilai sikapnya nol".

Artinya kepandaian jika tidak dibarengi sikap yang baik maka malapetaka yang akan didapat".

Mendengar penjelasan saya, mereka semuanya jadi tersadarkan, terheran-heran menyadari pentingnya sikap.

Salah satu anak dimarahi ibunya pagi ini

Saya begitu terkejut akan berita pagi ini yang saya terima ketika baru tiba di sekolah, tentang salah satu anak murid saya. Akibat kejadian tersebut, saya merasa menyesal sekali tidak ada di tempat. Karena saat itu saya di Puskesmas, sehingga agak telat hadir ke sekolah.

Ceritanya salah satu siswi saya bernama Melly dimarahi ibunya. Bayangkan saja dimarahi mulai dari rumah sampai depan sekolah. Meskipun jarak rumahnya cukup berdekatan dengan sekolah.

Namun bukan itu yang saya sesalkan...

Yang menghenyakkan hati saya, kepala anak itu dipukulkan ke dinding, bahkan banyak anak-anak lain yang melihat, laporan dari teman sekelasnya kepada saya.

Perbuatan tersebut dilakukan ibunya, karena si anak tidak mau bersekolah. Dia pengen berhenti.

Apa pun alasannya, tidak baik sampai bersikap seperti itu, apalagi di hadapan teman-temannya. Karena akan berpengaruh juga pada harga diri anak.

Memang anak yang satu ini sangat kesulitan dalam belajar. Nilainya pun hampir tidak pernah di atas 5. Selain itu sering tidak hadir. Dan parahnya di kelas sering dibully teman-temannya. Jadi saya tidak heran motivasi dirinya untuk bersekolah sangat rendah.

Bukan hanya itu, hubungan dengan ibunya juga kurang baik. Terbukti ibunya selalu memaksa turun ke sekolah, namun Melly sering melawan. Dan yang saya dengar, hal tersebut sering terjadi di mereka.

Entah mesti bagaimana lagi.

Meski begitu, sebenarnya ada sisi emas dari si Melly. Yaitu begitu hormat dengan guru. Berbicara lembut, menurut. Bahkan saya sangat ingat sewaktu kemping, dia yang berinisiatif paling tinggi untuk bersih-bersih piring dan di dapur.

Back to topik..

Kejadian yang menimpa Melly ini mendorong saya kembali menegaskan bahwa sikap nomor satu, nilai nomor sepuluh. Penilaian sikap bukan hanya kepada guru, namun bagaimana bersikap yang baik kepada teman dan orang tua.

Sehingga sebelum saya bagikan kertas UTS kepada anak-anak, saya tegaskan kembali  bahwa sikap itu nomor satu, sedangkan nilai nomor sepuluh.

Tujuannya agar anak-anak seperti Melly, tidak merasa rendah diri. Karena saya tau betul apa yang dirasakan Melly dan anak lainnya yang merasa kesulitan belajar.

Dari pernyataan saya tersebut, Alhamdulillah terlihat kembali antusias di mata anak-anak yang memiliki kesulitan belajar.

Penutup

Saya punya harapan ke depan, agar pemerintah menghapus sistem rangking kelas. Terutama anak SD. Karena anak-anak SD adalah usia penanaman karakter sesungguhnya.

Demikian tulisan singkat saya. Mohon kritik dan sarannya membangun. Jangan ragu-ragu tulis di kolom komentar.

Taufik Junaidie
Taufik Junaidie Kepala Sekolah, Finalis 5 besar SRB 2022, Certified Teacher, Google Certified Educator Lev. 2, Juara 1 Vidio Animasi se Kalsel, and Blogger
Komentar